Persis, dari Tribun A..

Rabu (10/9/2014), Persis Solo menjamu PSGC Ciamis di Stadion Manahan. Rencana awal, saya hendak menonton di tribun suporter sebelah timur. Selain sudut pandang yang lebih jelas, tiket di sana lebih cocok dengan kondisi dompet seorang anak kos. Sisi minusnya, di tribun “Gate B” tersebut sengatan terik matahari akan terasa sangat panas karena tribun belum dilengkapi dengan atap. Daripada harus merasa sepi dalam keramaian stadion, siang hari saya mencoba BBM Jery, teman saya yang seorang fans Persis Solo. Dia mengiyakan tapi dengan menunjuk tribun VIP di sebelah barat sebagai venue untuk menyaksikan laga home kedua Persis di babak 16 besar ini. Lebih adem katanya. Ya, memang hanya tribun A yang sudah dilengkapi dengan atap.


Sore, sekitar 3.32 WIB saya tiba di stadion, suasana sudah ramai sesak dengan orang-orang beratribut merah. Ah, tapi dasar kampret. Jery belum kelihatan batang hidungnya, sedangkan dari dalam stadion telah terdengar lagu “Satu Jiwa” khas dinyanyikan Pasoepati sebelum laga dimulai. Hingga terdengar riuh teriakan suporter atas gol pertama Persis pun manusia buncit itu belum tampak. Saya sabar menunggu untuk beberapa saat, hingga pria berjaket hitam bermuka melo pun datang. Ya, Jery is coming now.. Tak lama, kami langsung menuju loket A1 untuk membeli tiket kemudian bergegas masuk stadion, tribun VIP.

Memang sih disebut tribun VIP, tapi dengan membawa tiket seharga 50 ribu pun saya masih harus duduk di tribun tanpa kursi. Lebih tepatnya duduk di sela kursi tribun VIP. Kursi sudah penuh diduduki orang. Aneh. Padahal harusnya tiket dicetak sesuai dengan jumlah kursi tersedia. Saya pun berpikir, apa mungkin masih terjadi “kebocoran” dari sisi ticketing manajemen Persis? Mungkin. Karena sebelumnya, di luar stadion saya masih melihat salah seorang oknum beratribut panpel terlihat akan memasukkan familinya secara cuma-cuma. Tapi, saya sudah bersyukur hari ini bisa duduk seadanya di tribun mewah Manahan, menikmati pertandingan.

Awalnya pertandingan akan terlihat mudah bagi Persis Solo. Unggul di menit awal, kemudian mendominasi dengan beberapa peluang yang gagal dimanfaatkan Fery Anto. Dengan rambut gondrong terurai dan badan tinggi ceking, dia adalah pemain Laskar Sambernyawa yang paling mudah saya kenali selain Nana Onana. Namun, pelanggaran di kotak enam belas memaksa Persis harus menerima hukuman penalti. Setelah itu PSGC lebih mendominasi, sedang Persis kesulitan membangun serangan dan cenderung bermain monoton.
Skor imbang 1-1 bertahan hingga paruh pertandingan.

Di sela menikmati pertandingan saya melihat beberapa kelompok orang yang berteriak ketika PSGC mendapatkan peluang dan bersorak ketika penalti berhasil dikonversikan. Saya mencoba berkomunikasi dengan bahasa Jawa, terlihat seperti kebingungan menjawab pertanyaan saya. Setelah berbincang barang sebentar, saya tahu mereka adalah para suporter “loyal” PSGC Ciamis. Loyal, meskipun sama-sama ada di Pulau Jawa, jarak Ciamis dan Solo tidak bisa dibilang dekat. Usut punya usut, serombongan pendukung asal Ciamis tadi adalah para PNS di lingkungan Sekretariat Daerah Kabupaten Ciamis. Mulanya saya heran, mengapa di saat midweek para PNS itu bisa melancong hingga ke Solo? Tapi keheranan saya terjawab ketika saya mengetahui bahwa manajer PSGC adalah Sekretaris Daerah Ciamis sendiri. Ya, kehadiran para PNS di Stadion Manahan sore itu merupakan salah satu bentuk keloyalan mereka terhadap instruksi atasan. Mereka pun nampak menikmatinya.

Bahkan seorang dari mereka bertutur, bulu kuduknya sempat merinding saat lagu “Satu Jiwa” dinyanyikan oleh seisi stadion. Atmosfer yang tidak bisa dia dapatkan saat menonton partai home PSGC bahkan. Dia pun mengungkapkan kekaguman terhadap Pasoepati dengan sesekali memotret ataupun merekam kejadian di dalam stadion. Sebelum akhirnya kekaguman tersebut berganti dengan ketidaknyamanan di pertengahan babak kedua, pun oleh ulah oknum Pasoepati. Kebanyakan dari mereka memilih meninggalkan stadion sebelum pertandingan berakhir. Tapi entah karena suasana yang tak lagi nyaman, atau mungkin mereka buru-buru karena mengejar tiket kereta pulang ke Ciamis? Saya belum sempat menanyakannya.

Ya, suasana nyaman menonton pertandingan sepakbola di babak pertama, seakan tidak berbekas di babak kedua pertengahan. Gol cepat PSGC di babak kedua sempat membuat para pendukung Ciamis kegirangan. PSGC sementara unggul 2-1. Tapi, gol kedua Fery Anto memanfaatkan through pass dari lapangan tengah meriuhkan kembali stadion yang sempat layu beberapa saat. Gol tersebut sempat diprotes oleh para pemain PSGC yang menganggap posisi striker gondrong Persis itu offside. Wasit tak bergeming.

Tak berselang lama tim kebanggaan Pasoepati justru bisa membalikkan keadaan menjadi 3-2, sekaligus meningkatkan tensi pertandingan. Emosi pemain di lapangan terlihat semakin tidak terkontrol. Pelanggaran keras cenderung tak profesional dari kedua kubu semakin sering terlihat tanpa ada ganjaran yang tegas dari wasit. Puncaknya terjadi ketika gol dari pemain PSGC yang dianulir. Merasa dicurangi, para pemain PSGC mendekati hakim garis. Entah apa yang dilakukan pemain itu pada hakim garis, saya kurang jelas melihatnya karena banyak penonton di depan sudah berdiri sambil berkata serapah. Suasana dalam stadion pun mulai tidak terkontrol. Banyak penonton di tribun VIP pun mulai memaki tak jelas sekaligus menghujani pinggir lapangan dengan berbagai macam botol. Kata VIP (Very Important Person) entah diartikan apa oleh orang-orang itu?

Saya sudah tidak bisa fokus menyaksikan pertandingan. Beberapa kali pertandingan sempat terhenti, wasit jadi bulan-bulanan pemain, keamanan stadion hingga aparat kepolisian pun beberapa kali harus turun ke lapangan untuk meredakan situasi. Miris melihat pertandingan sore itu. Beberapa kali saya menyaksikan wasit utama tidak diperlakukan sebagai layaknya seorang pemimpin pertandingan. Ditabrak, didorong, dikerumuni banyak pemain, hingga hampir atau mungkin sudah dipukul. Pertandingan sudah benar-benar kacau, menurut saya.

Pemain dengan segala emosinya tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas huru-hara dalam lapangan sore itu. Bukan bermaksud mengkambinghitamkan wasit tetapi menurut penilaian subjektif saya, kepemimpinan wasit sore itu memang tidak maksimal. Ketigaktegasan dalam menghukum kesalahan pemain menjadi sumber kacaunya pertandingan. Pelanggaran-pelanggaran kasar harusnya segera diganjar dengan peringatan, kartu kuning, atau bahkan kartu merah. Tidak harus menunggu emosi dari pemain meledak. Jika wasit bisa lebih “galak” sore itu, saya yakin pertandingan akan lebih menarik.

PSSI dengan komite wasitnya, harusnya sadar. Harusnya mereka sudah bisa berkaca dari pertandingan-pertandingan "aneh" di laga kasta kedua ini . Divisi utama sudah memasuki fase 16 besar, salah satu langkah penentuan menuju Super League. Tentu tensi akan lebih tinggi ketimbang laga-laga di penyisihan grup. Ya, benar. Harusnya PSSI menempatkan wasit dengan kualitas teknis dan mental yang lebih baik. Wasit yang kualitas teknisnya tidak segera raib setelah mendapat berbagai macam tekanan mental, baik dari dalam maupun luar lapangan. Wasit yang lebih tegas mutlak dibutuhkan babak 16 besar Divisi Utama!
Ah, tapi sudahlah. Itu sudah menjadi ranah Komite Wasit PSSI, biarlah beliau-beliau di sana yang mengurusinya.

Setidaknya saya tidak benar-benar rugi mengeluarkan 50 ribu sore itu. Selain menonton sepakbola, saya juga bisa menyaksikan adegan-adegan yang biasanya diputar dalam flm-film laga. Terima kasih Persis Solo atas kemenangan 5-2 di penutup senja kemarin. 
Salam respect saya juga terhadap PSGC beserta pendukungnya. Maafkan sambutan kurang hangat di Stadion Manahan sore itu.





Ditulis oleh @oongwie.

Share this :

Previous
Next Post »