(Lagi-Lagi) Kegagalan Indonesia di Piala AFF

Meski menang 5-1 atas Laos, perjalanan Indonesia di kejuaraan AFF 2014 dipastikan berakhir. Sebabnya, di waktu bersamaan Filipina berhasil dijinakkan tuan rumah Vietnam dengan skor 3-1 menjadi akhir pertandingan yang dilangsungkan di Stadion My Dinh, Hanoi. Hasil tersebut memastikan Vietnam sebagai juara grup A. Filipina sendiri merupakan tim pertama yang lolos dari fase grup setelah meraih dua kemenangan beruntun atas Laos dan Indonesia. Kekalahan atas Vietnam, menempatkan The Azkals di posisi kedua. Sekaligus meloloskan tim dengan 20 pemain naturalisasi tersebut ke semifinal untuk ketiga kalinya sejak 2010.

Dengan hanya meraih 4 poin, Indonesia hanya menempati posisi ketiga.  Indonesia  pun urung melaju ke semifinal untuk ketiga kalinya, setelah 2007 dan 2012 mengalami hal serupa. Kegagalan di Piala AFF seakan melengkapi kegagalan Timnas U-19 di Piala Asia dan Timnas U-23 di Asian Games. Tahun yang syuram untuk sepakbola Indonesia.

Catatan paling mengenaskan mungkin hasil 0-4 dikalahkan oleh Filipina. Kekalahan pertama pasukan Garuda sejak tahun 1958 atas negara bekas jajahan Amerika Serikat itu. Permainan anak asuh Alfred Riedl pun sama sekali jauh dari kata “baik”. Dua gol yang tercipta kontra Vietnam terjadi lebih karena faktor keberuntungan, bukan hasil kerjasama rapi antar pemain. Tak berbeda ketika meraih kemenangan atas Laos, ball possesion dan intensitas serangan lebih didominasi Laos. Beruntung, finishing touch pasukan David Booth buruk.

Mungkin banyak yang berpikir, pemain yang ada saat ini adalah salah satu komposisi terbaik selama berlaga di Piala AFF. Tapi apa lacur, permainan Indonesia malah tak seperti yang publik harapkan. Buruknya permainan Indonesia di Hanoi pastinya bukan tanpa sebab, bukan?

Molornya kompetisi Indonesia Super League (ISL).
Tahun 2014 adalah tahun politik bagi Indonesia. Normalnya, kejadian-kejadian politik macam pemilu, atau agenda politik apapun tidak harus mempengaruhi jadwal kompetisi. Tapi, ini Indonesia. Dua kali pemilu, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, dua kali pula liga harus mengalami penundaan. Hingga akhirnya kompetisi harus rampung beberapa bulan dari jadwal semula.

Persiapan Mepet ala PSSI.
Seolah tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu, BTN selalu menjadwalkan Training Center (TC) dengan kehadiran pemain seadanya. Para pemain yang idealnya bergabung sebulan sebelum berlaga di Vietnam. Nyatanya, banyak pemain telat bergabung karena masih sibuk berkutat dengan babak delapan besar ISL. Dan lucunya, PT. Liga Indonesia masih “memaksakan” babak delapan besar dilangsungkan dengan sistem kompetisi penuh, home and away. Padahal dengan molornya jadwal kompetisi, harusnya delapan besar bisa diselesaikan dengan sistem setengah kompetisi. Cukup menunjuk masing-masing juara wilayah sebagai tuan rumah. Mungkin siaran langsung TV menjadi pertimbangan utama? Bukan rahasia jika siaran TV mendatangkan keuntungan tersendiri bagi PT. Liga Indonesia. Alhasil, persiapan mepet (lagi-lagi) dijadikan kambing hitam kegagalan Indonesia di AFF 2014.

Kurangnya Waktu Recovery dan Banyaknya Pemain Cedera.
Kompetisi panjang ISL musim ini mengakibatkan sebagian besar pemain yang bergabung dengan Timnas mengalami tingkat kecapekan yang luar biasa. Apalagi para pemain yang berlaga hingga final ISL, yang hanya memiliki waktu jeda seminggu untuk kemudian bergabung ke Pelatnas. Bahkan, para pemain yang berasal dari Persib dan Persipura tidak dimainkan dalam dua laga ujicoba kontra Timor Leste dan Syiria karena alasan waktu recovery. Belum lagi ditambah dengan sederetan pemain andalan yang cedera, seperti Alvin Tuasalamony, Irfan Bachdim dan Greg Nwokolo semakin menambah berat langkah Indonesia menuju kejuaraan dwi tahunan ini,

Semangat Bertanding yang Tidak Terlihat.
Permainan monoton tanpa kerjasama yang rapi antar pemain. Indonesia terlihat seperti tim yang bertanding tanpa semangat. Kebanyakan pemain malah terpaku pada posisinya tanpa ada determinasi dalam memenangkan bola. Malu harusnya sudah didapatkan pasukan Riedl kontra Vietnam, tapi kegugupan barisan belakang plus sedikit keberuntungan menyelematkan wajah Indonesia dari kekalahan atas tuan rumah. Tuhan pun berkehendak, melawan Filipina tim yang dulu pernah dibobol Bambang Pamungkas dengan delapan gol, justru Indonesia kalah telak. Tak ada semangat, tak ada determinasi. Yang ada justru permainan dikuasai oleh orang-orang yang entah hafal lagu kebangsaan Filipina atau tidak. Pertandingan pun berakhir tragis, Indonesia harus menanggung pilu dengan merelakan gawangnya bobol empat kali.

Jadwal Pertandingan yang Tidak Menguntungkan.
Harus bertemu Vietnam di laga pembuka, tentu bukan hal yang diharapkan oleh Alfred Riedl. Biar bagaimana pun Vietnam adalah tim yang selalu sulit ditaklukkan Indonesia. Apalagi AFF tahun ini dimainkan di My Dinh, kandang dari anak asuh Toshiya Miura. Jika saja Indonesia dipertemukan dengan Laos di pertandingan pertama mungkin cerita akan berbeda. Keuntungan justru didapatkan Filipina yang hanya berlaga melawan tim kualifikasai, Laos di laga awal. Alhasil, kemenangan mudah diraih The Azkals yang dilanjutkan dengan sejarah penaklukan Indonesia.  

Ketidakberanian Memainkan Pemain Muda.
Di dua laga awal, Riedl cenderung menepikan para pemain muda. Pria Austria seperti tidak ingin berjudi dengan menurunkan pemain muda di laga sarat tekanan melawan Vietnam dan Filipina. Sayangnya, keputusan tersebut tidak berjalan sesuai kehendaknya. Hanya 1 poin dari 2 pertandingan kian menipiskan nafas Indonesia. Hingga di laga pamungkas, laga yang hampir pasti tidak akan mengantar Indonesia ke semifinal Riedl baru berani untuk menurunkan mantan kapten Timnas U-19, Evan Dimas Darmono. Hasilnya pun tidak mengecewakan, duetnya bersama Ramdani Lestaluhu berhasil memberikan pergerakan dinamis di lini tengah Indonesia. Total 3 dari 5 gol Indonesia dikreasikan dua pemain muda ini. Belum lagi, penampilan Manahati Lestusen dalam menjaga keseimbangan permainan, memukau penonton malam itu.

Kegagalan demi kegagalan yang dialami Indonesia di tahun 2014 ini harusnya sudah bisa menjadi bahan evaluasi PSSI, terutama petinggi Badan Tim Nasional (BTN). La Nyalla Mattaliti, selaku ketua BTN yang juga Wakil Ketua PSSI selayaknya mengambil tanggung jawab penuh atas rentetan awan hitam prestasi Timnas di berbagai ajang. Evaluasi sepantasnya juga harus dilakukan. Tapi, sebelum mengevaluasi pelatih maupun pemain alangkah bijaknya jika para petinggi BTN berkaca pada diri mereka sendiri. Apakah mereka memang pantas dan mampu menahkodai BTN? Badan yang merupakan ujung tombak bagi prestasi Timnas Indonesia. Jika memang, Bapak sudah mulai lelah dan tidak sanggup. Serahkan kepada pemuda lain Bapak, yang memiliki kompetensi dan semangat lebih untuk memajukan prestasi persepakbolaan Indonesia.. 
Sekian.



Ditulis oleh @oongwie.
Diambil dari berbagai sumber.

Share this :

Previous
Next Post »