Sanksi Komdis, Sudah Fair Kah?

Benar. Pertandingan anti-sepakbola antara PSS Sleman vs PSIS Semarang, yang berkesudahan 3-2 untuk tuan rumah.
Kenapa saya sebut pertandingan anti-sepakbola?
Pertandingan sepakbola pada umumnya di belahan bumi manapun, dari gang sempit hingga stadion termegah sekalipun pasti bertujuan ingin meraih kemenangan dengan menceploskan bola ke gawang lawan. Hal sebaliknya justru terjadi di pertandingan yang berlangsung di Stadion Sasana Krida AAU Sleman, Minggu (26/10/2014) ini. Alih-alih mencetak gol ke gawang lawan, para pemain dari kedua tim malah berlomba membobol gawang mereka sendiri. Entah bagaimana hancurnya perasaan suporter masing-masing tim ketika melihat para punggawa kebanggaannya bermain tanpa semangat untuk menang?

Atas kejadian tersebut, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI berjanji akan menginvestigasi dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang terlibat. Janji tersebut akhirnya dipenuhi oleh sang ketua “gangster”, (Don) Hinca Pandjaitan pada Kamis (20/11/2014). Seperti yang sudah diduga oleh banyak orang, hujan sanksi tidak dapat dielakkan.

Berikut keputusan Komdis, sebagaimana dilansir oleh Goal.com:

1.      Untuk Pihak PSIS Semarang
  • Manajer PSIS Semarang Wahyu Winarto dan Pelatih Eko Riyadi. Dihukum berupa larangan beraktivitas seumur hidup sejak 11 November dan denda 200 juta.
  • Asisten pelatih PSIS, Dwi Setiawan dan Budi Cipto. Dihukum berupa larangan beraktivitas selama 10 tahun terhitung sejak 11 November dan denda 150 juta.
  • Kiper Adi Nugroho, gelandang Komaedi, striker Fadli Manan, dan stiker Saptono. Dihukum berupa larangan beraktivitas seumur hidup dan denda 100 juta rupiah.
  • Sunar Sulaiman, Anam Syahrul, Taufik Hidayat, Andik Rahmat, Elina Soka, Vidi Hasiolan, Frengky Mahendra. Dihukum berupa larangan beraktivitas 5 tahun sejak 11 November 2014 dan denda 50 juta.
  • Ivo Andre Wibowo, Safrudin Tahar, Edyanto, Ahmad Noviandani, Hari Nur Yulianto. Dihukum berupa larangan beraktivitas 1 tahun dengan masa percobaan lima tahun dan denda 50 juta.
  • Ronald Fagundez dan Julio Alcorse. Dihukum berupa larangan beraktivitas selama 5 tahun terhitung 11 November dan denda 150 juta.
  • Pembantu Umum Suyatno dan masseur Aji. Dihukum berupa larangan beraktivitas selama 1 tahun dengan masa percobaan 5 tahun, tanpa denda.
2.     Untuk pihak di PSS Sleman
  • Sekretaris Tim Ery Febriyanto, ofisial Rumadi, pelatih Herry Kiswanto. Dihukum berupa larangan beraktivitas seumur hidup dan denda 200 juta.
  • Ofisial lain, Edy Broto dan Erwin Syahrudin. Dihukum berupa larangan beraktivitas selama 10 tahun dan denda 150 juta.
  • Kiper Riono, bek Agus Setiawan, dan Hermawan Putra Jati. Dihukum berupa larangan beraktivitas seumur hidup dan denda 100 juta.
  • Marwan Muhamad, Satrio Aji, Wahyu Gunawan, Ridwan Awaludin, Anang, Eko Setiawan, Mudah Yulianto, Moneiga Bagus. Dihukum berupa larangan beraktivitas selama 5 tahun dan denda 50 juta.
  • Rasmoyo, Adelmund, Waluyo, Saktiawan Sinaga, Guy Junior, Gratheo Hadi Witama. Dihukum berupa larangan beraktivitas selama satu tahun dengan masa percobaan lima tahun dan denda 50 juta.
  • Kitman Dwi dan Masseur Suyono. Dihukum larangan beraktivitas selema 1 tahun dengan masa percobaan selama 5 tahun, tanpa denda.
Dengan beberapa orang disanksi seumur hidup, terlihat Komdis ingin menunjukkan keseriusannya dalam menyelesaikan kasus ini. Kesan tegas dan tidak main-main ingin ditonjolkan. Tapi tunggu dulu, jangan dulu buru-buru berprasangka baik terhadap bapak-bapak PSSI ini. Rentetan sanksi di atas masih bisa dibawa ke Komisi Banding (Komding), kok..

Berkaca dari beberapa kasus sebelumnya, di fase banding ini lah kerap terjadi gap keputusan nan jauh. Masih ingat dengan kasus pemukulan Pieter Rumaropen kepada wasit Muhaimin di laga Persiwa kontra Pelita Bandung Raya? Oleh Komdis, Pieter sempat dihukum seumur hidup tidak boleh aktif di persepakbolaan nasional dan denda Rp. 100 juta. Tapi kemudian, di Komding sanksi direvisi menjadi “hanya” hukuman 1 tahun tidak boleh berkecimpung di sepakbola nasional dan denda Rp. 100 juta. Dan mungkin masih banyak lagi, sanksi yang diringankan oleh Komding yang tidak saya ingat.

Seperti sebuah hal yang biasa.
Komdis berlagak layaknya seorang bapak yang akan menghukum anaknya yang berbuat kesalahan dengan hukuman seberat-beratnya. Ya, walaupun terkesan tegas tapi menurut saya pribadi tercium lebayy dan tidak atas dasar yang jelas. Sebaliknya Komding akan berakting seperti sesosok ibu yang tulus nan bersedia membela anaknya dan menghindarkan sang anak dari amukan hukuman bapak. Hmm.. Tapi apakah benar Komding memberikan keringanan sanksi itu tulus seperti kasih ibu, dan tanpa ada “apa-apa”nya?

Gosip, bahwa setiap keringanan sanksi ada tarifnya sudah tentu jadi semacam rahasia umum. Toh, selama ini PSSI baik Komdis, Komding maupun komisi lainnya tidak pernah secara transparan membuka laporan keuangan mereka. Dikemanakan duit hasil denda? Masuk ke kantong mana semua uang denda? Dipergunakan untuk apa saja uang hasil denda? Tidak pernah jelas, bukan? Jadi, jika kita berasumsi bahwa sanksi maupun keringanan sanksi yang diberikan PSSI hanya menjadi ladang mengeruk uang bagi oknum petinggi PSSI, tidak salah bukan?

Selain memberikan daftar sanksi bagi PSS Sleman dan PSIS Semarang, Hinca Pandjaitan juga menguak motif dari kejadian yang disebut media sebagai 'sepakbola gajah' tersebut. Seperti dugaan banyak orang termasuk saya, tak lain tak bukan demi menghindari Pusamania Borneo FC (PBFC) di semifinal, yang merupakan runner up Grup P. Namun anehnya, alasan kenapa PBFC begitu “ditakuti” hingga kedua tim rela melakukan hal tidak senonoh, jelas tidak diusut! Hal yang semakin menguatkan dugaan publik bahwa PBFC memang “diistimewakan”. Bukan bermaksud mendiskreditkan PBFC, tapi hadiah 11 penalti dari 12 pertandingan tidakkah cukup menjelaskan keistimewaan tim ini?

Jika boleh saya ibaratkan. Komdis adalah seorang tukang kebun yang mendapatkan mandat majikan untuk membersihkan taman dari rumput liar. Tentu rasanya tidak akan cukup jika si tukang kebun hanya memotong rumput liar di permukaan. Taman yang bersih dari rumput liar hanya akan jadi mimpi, jika si tukang kebun hanya bermalas-malasan serta enggan mencabut akar dari rumput liar.

Begitu pula dengan sikap Komdis saat ini. Sanksi berat kepada pemain, pelatih, ofisial hingga tukang pijit PSS Sleman dan PSIS Semarang seakan hanya ingin menutupi busuknya permainan mafia. Memutus sanksi hanya pada pelaku kasat mata serta dengan mudah mengkambingkan pemain sebagai pelaku utama tragedi ini.
Come on..
Mereka yang di lapangan hanyalah tangan dan kaki, yang tidak akan bergerak tanpa ada instruksi dari otak. Kita semua sadar akan hal itu. Tapi sayangnya, kepala yang berisi otak perancang skema memalukan itu tak pernah benar-benar dipenggal!

Jika Komdis PSSI memang ingin serius dalam menuntaskan kasus ini, harusnya investigasi dan sanksi tidak berhenti pada orang-orang yang ada di lapangan. Para pelaku di lapangan memang pantas diberikan sanksi. Namun, alangkah tidak adilnya jika para sutradara drama anti-sepakbola alias mafia biang bobroknya sepakbola Indonesia masih bebas melenggang tanpa bisa disentuh sanksi apapun. Takut kah PSSI? Atau malah jangan-jangan.. PSSI-lah mafianya? Who knows..






Ditulis oleh @oongwie.
Diambil dari berbagai sumber.

Share this :

Previous
Next Post »