Piala Dunia Memang Hanyalah Mimpi

Serentetan hasil buruk terus dialami Timnas U-19 Indonesia. Setelah gagal total di Turnamen Hassanal Bolkiyah di Brunei, pun diikuti dengan hasil kurang memuaskan di Tur Spanyol. Puncaknya, tentu ada di Asian Cup yang dihelat Myanmar. Alih-alih lolos ke babak perempat final, tak sebiji poin pun didapat anak asuh Indra Sjafri ini. Kebobolan 8 gol dengan hanya memasukkan 2 bola ke gawang lawan, tentu bukan hasil yang diharapkan oleh seantero rakyat di negeri ini. 


Keberhasilan menaklukkan Timnas Korea Selatan 3-2 di laga terakhir kualifikasi Asian Cup sepertinya menjadi performa puncak para punggawa Garuda Jaya. Karena setelah laga tersebut, kita tidak lagi bisa menyaksikan permainan tiki-taka ala bocah Indonesia. Permainan yang sempat membuat Timnas U-19 Korsel terlihat hanya seperti 11 personel boyband yang gagu karena lupa memakai pensil alis. 

Menurut hemat saya, penurunan performa Evan Dimas dkk disebabkan oleh kualitas lawan yang tak sepadan. Bahkan, cenderung berada di bawah level Timnas U-19. Tur Nusantara! Saya lebih suka menyebutnya Tur Nusantawa. Iya, banyak petinggi PSSI yang tertawa karena menerima banyak dana dari disiarkannya setiap pertandingan Timnas U-19 di Tur tersebut. Tur Nusantawa memang sangat menguntungkan dari aspek finansial, tetapi tidak untuk aspek teknis permainan tim. Coba saja Anda bayangkan.. 

Anda adalah seorang anak SMA yang memenangi kejuaraan karate tingkat kecamatan. Atas kemenangan tersebut, Anda berhak melaju di kejuaraan karate kabupaten. Namun sayangnya, pihak SMA memerintahkan Anda untuk berlatih setiap hari dengan anak SMP. Anak yang sebenarnya bukan berada pada level Anda. Dan kira-kira bagaimana nasib Anda di kejuaraan karate kabupaten? Saya bisa menggaransikan nasib Anda tak jauh-jauh amat dari ironi Timnas U-19 Indonesia. 

Dengan level lawan yang berada di bawah, bermain seburuk apapun Timnas U-19 tak pernah mengalami kekalahan di Tur Nusantawa. Hal tersebut pula lah yang sepertinya mematikan insting melatih Indra Sjafri. Belakangan Coach Indra seperti hanya berpegang pada satu formasi pakem 4-3-3. Tanpa inovasi, tanpa imajinasi. Pergantian pemain pun sering dilakukan hanya untuk merotasi pemain tanpa ada improvisasi formasi. Sehingga, permainan tim pun mudah diterka lawan. Kekuatan utama pasukan Garuda Jaya memang berada pada lini tengah. Akan tetapi, justru di sini lah ironi terjadi. Evan Dimas menjadi target utama setiap musuh Indonesia. Ketika Evan Dimas berhasil dibekukan lawan, maka matilah permainan pasukan Garuda. Hagi yang dulunya begitu fasih menyaring serangan lawan sambil melambungkan umpan direct akurat, kini terlihat buruk dalam menjaga kedalaman tim. Bahkan umpannya lebih sering ia oper kepada lawan ketimbang rekan setim. Zulfiandi yang seorang center midfielder sering dibekap cedera, pun ketika dia dimainkan, tak pernah memberikan kenyamanan lini tengah seperti saat kualifikasi. Hanya Paulo Sitanggang saja yang sering tampil eksplosif, sering mengejutkan lawan. Sayangnya, permainan Paulo tak cukup mengangkat taji lini tengah Indonesia U-19. 

Menurunnya daya ledak barisan midfield, berpengaruh besar atas penampilan backfour dan trio penyerang. Kita tidak bisa menyalahkan hal tersebut sepenuhnya kepada para pemain. Tanggung jawab pun tak melulu jadi hak pelatih. PSSI pun tak seharusnya selalu disalahkan, karena PSSI terlalu bebal untuk mengerti bahwa program-program “brilian”-nya adalah kesalahan. Mari kita menutup mata, tidur, untuk memimpikan Indonesia Raya dikumandangkan di Piala Dunia. Ya, karena rasanya Piala Dunia memang hanyalah mimpi, bahkan Piala Dunia U-20 sekalipun.




Ditulis oleh @oongwie.

Share this :

Previous
Next Post »